DEKAT PADA ILAAHI, KUAT DALAM MENGAJI, MAJU DALAM TEKNOLOGI - DEKAT PADA ILAAHI, KUAT DALAM MENGAJI, MAJU DALAM TEKNOLOGI - DEKAT PADA ILAAHI, KUAT DALAM MENGAJI, MAJU DALAM TEKNOLOGI

Senin, 21 September 2015

Memaknai Haji dan Qurban


اللّٰهُ اَكْبَرُ كَبِيرًا وَالْحَمْدُ لِلّٰهِ كَثِيرًا وَسُبْحَانَ اللَّهِ بُكْرَةً وَأَصِيلاً، لاَ إِلٰهَ إِلاًّ اللّٰهُ وَلاَ نَعْبُدُ إِلَّا إِيَّاهُ, مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ, وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ، لَاإِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ, صَدَقَ وَعْدَهُ, وَنَصَرَ عَبْدَهُ, وَاَعَزَّ جُنْدَهُ, وَهَزَمَ الْأَحْزَابَ وَحْدَهُ، لاَ إِلٰهَ إِلَّا اللّٰهُ اللهُ اَكْبَرُ، الله اَكْبَرُ وَلِلّٰهِ الْحَمْدُ.
الْحَمْدُ ِللهِ الَّذِيْ اِيَّاكَ نَعْبُدُ وَلَكَ نُصَلِّى وَنَسْجُدُ وَاِلَيْكَ نَسْعَى وَنَحْفِدُ, نَرْجُوْ رَحْمَتَكَ وَنَخْشَى عَذَابَكَ اِنَّ عَذَابَكَ الْجِدَّ بِالْـكُفَّارِ مُلْحَقً.
أَشْهَدُ اَنْ لَّا اِلٰهَ اِلَّا أَنْتَ وَحْدَكَ لاَشَرِيْكَ لَكَ، وَاَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُكَ وَرَسُوْلُكَ. الَلَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلٰى مَنْ سَنَّ بِقَوْلِهِ: اَيُّهَا النَّاسُ, اِنَّ دِمَاءَكُمْ وَاَمْوَالَكُمْ حَرَامٌ عَلَيْكُمْ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا فِىْ شَهْرِكُمْ هَذَا فِىْ بَلَدِكُمْ هَذَا اَلَّا كُلِّ شَيْئٍ مِنْ اَمْرِ الْجَهِلِيَّةِ تَحْتَ قَدَمَيَّ مَوْضُوْعٌ, وَعَلٰى اٰلِهٖ وَاَصْحَابِهٖ وَمَنْ وَّالَاهُ.
اَمَّا بَعْدُ: عِبَادَ اللهِ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ وَإِيَّايَ بِتَقْوَى اللهِ وَطَاعَتِهِ كَمَاجَاءَ فِى قَوْلِهِ: يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمْ وَاخْشَوْا يَوْماً لاَّ يَجْزِي وَالِدٌ عَنْ وَلَدِهِ, وَلاَ مَوْلُوْدٌ هُوَ جَازٍ عَنْ وَالِدِهِ شَيْئاً, اِنَّ وَعْدَ اللهِ حَقٌّ فَلَا تَغُرَّنَّكُمُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَلَا يَغُرَّنَّكُمْ بِاللهِ اْلغَرُوْرُ.
Puji dan syukur kita persembahkan ke hadirat Allah swt. saat ini umat islam di seluruh dunia kembali dipertemukan dengan hari raya qurban, hari raya idul adha 1436 H. Dimana pada hari ini, kaum muslimin merayakannya dengan mengumandangkan dan menggemakan takbir, tahlil dan tahmid. Kalimat thayyibah ini akan terus menggema di seantero jagat ini tidak hanya sampai hari ini saja, melainkan selama 3 hari tasyrik kedepan, yakni tanggal 11, 12 dan 13 Dzulhijjah. Kalimat-kalimat yang mengalun tersebut menyentuh kalbu setiap hamba yang beriman, menggugah kesadaran kita tentang status kita sebagai hamba Allah yang wajib mengabdi kepada-Nya. Maka marilah kita mengagungkan, memuliakan dan membesarkan asma Allah yang telah menciptakan dan memelihara langit dan bumi serta segala isinya. Marilah kita mantapkan langkah kaki dan ayunan tangan kita untuk meniti jalan menuju keimanan dan takwa kepada Allah swt.
Saat ini juga, jutaan umat islam dari berbagai penjuru dunia sedang berkumpul di tanah suci memenuhi panggilan Illahi robbii, untuk menunaikan rukun islam yang kelima, melaksanakan ibadah haji. Kumpulan manusia dari berbagai etnis, suku bangsa, beragam bahasa serta bermacam warna kulit, membuat panorama yang sangat indah dan menakjubkan. Mereka berbaur bersatu padu dengan satu tujuan untuk menyembah dan memuji Allah swt, Tuhan semesta alam, mereka membacakan kalimat yang sama yakni kalimat talbiyah. Kalimat ini adalah sebagai cerminan bentuk ketaatan kepada Sang Khaliq. Mereka semua meninggalkan bentuk-bentuk keduniawian dan memakai pakaian yang sama yaitu pakaian ihram, dan merekapun membacakan kalimat yang sama, yaitu :
لَبَّيْكَ اللّٰهُمَّ لَبَّيْكَ, لَبَّيْكَ لَا شَرِيْكَ لَكَ لَبَّيْكَ, اِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ, لَكَ وَاْلمُلْكَ لَاشَرِيْكَ لَكَ
Aku datang untuk memenuhi panggilan-Mu Ya Allah, aku datang untuk memenuhi panggilan-Mu, aku datang untuk memenuhi panggilan-Mu, tidak ada sekutu bagi-Mu, aku datang untuk memenuhi panggilan-Mu, sesungguhnya segala puji dan kenikmatan milik-Mu, tidak ada sekutu bagi-Mu
Sungguh merupakan suatu pemandangan yang sangat indah, tidak nampak dari raut mereka para tamu-tamu Allah itu raut muka yang cemberut, tidak nampak dari mereka itu perselisihan, percekcokan, dan permusuhan. Tidak juga terlihat wajah-wajah yang penuh dusta, iri dengki, hasut dan segala macam penyakit hati yang merongrong amaliyah mereka. Pada hari itu seluruh simbol-simbol keduniawian yang sering menjadi biang kerok perpecahan mereka tinggalkan semua. Harta benda yang sering membuat mereka lalai dengan kaum duafa mereka tinggalkan, jabatan dan kekuasaan yang sering membuat mereka ujub dan takabur juga mereka tinggalkan. Bahkan anak-anak kesayangan yang sering menyebabkan mereka lalai, tak satupun yang menjadi penghalang baginya untuk beribadah kepada-Nya. Yang mereka sandang sekarang hanyalah pakaian takwa dan jabatan sebagai hamba Allah yang beriman. Lantunan kalimat yang mereka ucapkan benar-benar menunjukkan bahwa mereka adalah umat yang satu, umat yang dipersatukan oleh nilai-nilai keimanan dan akidah islam yang paripurna. Inilah pemandangan yang indah dan membahagiakan hati, menenteramkan jiwa orang-orang yang beriman, yang senantiasa haus akan cucuran rahmat dan ridha Allah swt. Maka pantaslah kalau dalam haditsnya rasulullah menyatakan :
وَالْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلَّا الْجَنَّةُ
Dan bagi haji yang mabrur, tidak ada balasan yang pantas baginya kecuali surga.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Sungguh keindahan spiritual ibadah haji di tanah suci Makkah, mampu mengusik setiap hati orang yang beriman untuk berkunjung ke Baitullah memenuhi seruan-Nya. Bahkan bagi mereka yang sedang dan sudah melaksanakan ibadah haji, hati kecilnya bertekat bahwa suatu saat nanti akan datang kembali ke tanah suci ini. Kenikmatan beribadah kepada Allah di tanah suci mampu menanamkan kerinduan bagi para jamaah haji untuk kembali lagi pada masa-masa berikutnya. Demikian juga bagi  orang-orang mukmin yang belum berkesempatan melaksanakan ibadah haji, selalu muncul kegelisahan akan datangnya kesempatan baginya untuk melaksanakan ibadah penyempurna rukun islam ini. Baik itu dari pejabat maupun rakyat jelata, pengusaha hingga buruh tani, orang kaya hingga orang miskin semuanya memiliki keinginan dan tekad yang sama. Memang, ibadah haji merupakan ibadah yang melibatkan seluruh aspek, yaitu iman, harta, jiwa dan raga. Logikanya, orang yang bisa menunaikan ibadah haji hanyalah orang beriman yang kaya dan memiliki jiwa dan raga yang sehat. Sepertinya orang miskin dan kebanyakan orang lainnya tidak mungkin akan bisa menunaikannya. Akan tetapi Allah telah memberikan bukti kepada kita, bahwa ibadah haji itu bukan sekedar haknya orang kaya saja, tetapi setiap muslim punya hak yang sama untuk melaksanakannya. Banyak diantara jamaah haji itu berasal dari kalangan menengah ke bawah. Ada petani, pekebun, pekerja bangunan, buruh pabrik, tukang bakso, tukang bubur, sopir angkot, bahkan ada diantara mereka itu yang hanya menjadi tukang sapu pasar. Dengan berbekal iman dan tekad yang kuat, mereka mampu menyisihkan sebagian penghasilannya selama berpuluh-puluh tahun untuk biaya perjalanan haji.
Akan tetapi sebaliknya, banyak juga orang yang hartanya berlimpah, kedudukan dan jabatannya terhormat tetapi belum sanggup menyisihkan waktu dan hartanya untuk berhaji. Ada diantara mereka yang beralasan sibuk, ada yang beralasan banyak kebutuhan lain yang lebih penting, ada yang demi memikirkan kepentingan dan bekal masa depan, bahkan ada yang mengatakan bahwa dia belum mendapatkan panggilan dari Allah. Panggilan apalagi yang hendak ditunggu ? Bukankah Allah telah memanggil kita untuk berhaji semenjak ribuan tahun yang lalu melalui lisan Nabi Ibrahim a.s. sebagaimana firman Allah dalam surah al-hajj ayat 26-27 :
وَاِذْ بَوَّأْنَا لِاِبْرٰهِيْمَ مَكَانَ اْلبَيْتِ اَنْ لَّا تُشْرِكْ بِيْ شَيْئًا وَّطَهِّرْ بَيْتِيَ لِلطَّآئِفِيْنَ وَاْلقَآئِمِيْنَ وَالرُّكَّعِ السُّجُوْدِ. وَاَذِّنْ فِى النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوْكَ رِجَالًا وَّعَلٰى كُلِّ ضَامِرٍ يَّــأْتِيْنَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيْقٍ. 
Dan (ingatlah), ketika kami tempatkan Ibrahim di Baitullah (dengan mengatakan): "Janganlah engkau mempersekutukan Aku dengan sesuatupun, dan sucikanlah rumah-Ku ini bagi orang-orang yang thawaf, dan orang-orang yang beribadah dan orang-orang yang ruku' dan sujud.
Dan serulah manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, atau mengendarai unta yang kurus, mereka datang dari segenap penjuru yang jauh
Dalam tafsir ibnu katsir, dijelaskan bahwa setelah Nabi Ibrahim selesai membangun Ka’bah, maka Allah berfirman kepadanya : “Serulah manusia untuk pergi haji” Nabi Ibrahim agak ragu, apakah suara panggilannya akan terdengar oleh seluruh umat manusia. Ibrahim berkata : “Wahai Tuhanku, bagaimana suaraku ini bisa sampai ?” Kemudian Allah berfirman : “Seru sajalah, Aku (Allah) yang akan menyam-paikannya”.
Kemudian naiklah Nabi Ibrahim ke Jabal Qubaisy dan menyeru : “Wahai manusia ! sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepadamu untuk berhaji di rumah Allah ini, agar Allah mengganjar kepadamu syurga dan melepaskan dari siksa neraka, maka berhajilah”.
Seruan Nabi Ibrahim ini bukan hanya kepada manusia kala itu saja, karena sebagian besar manusia kala itu belum lahir (termasuk kita). Maka seruan ini disampaikan juga kepada ruh seluruh manusia yang sudah terlebih dahulu diciptakan Allah (lagi-lagi termasuk kita). Kemudian mereka menyahuti panggilan itu dengan membaca Talbiyyah “labaika allahumma labaik” (Aku penuhi panggilanmu ya Allah, aku penuhi panggilanmu). Maka barang siapa yang menjawab satu kali, ia akan melaksanakan ibadah haji satu kali seumur hidupnya, dan barang siapa yang menjawab dua kali, iapun akan berhaji sebanyak dua kali, dan seterusnya. Oleh karena itu, marilah kita tekadkan dalam hati kita untuk memenuhi panggilan Allah ini, meskipun secara akal sehat mungkin sulit bagi kita untuk melaksanakannya. Tetapi tidak ada kata tidak mungkin, tidak ada kata terlambat, tanamkan niat dalam hati kita bahwa kitapun akan pergi untuk berhaji. Bahkan, niat ini jangan sampai pernah putus, kalau kita berniat dan berusaha dengan sungguh-sungguh, tidak ada yang mampu menghalangi kehendak Allah memberang-katkan kita ke tanah suci Makkah. Namun perlu diingat bahwa ibadah haji adalah perjalanan suci untuk menyempurnakan tataran iman dan taqwa kita, maka barangsiapa yang sudah memiliki niat untuk menunaikannya, apalagi sudah benar-benar melaksankannya, jangan pernah terselip niat-niat lain yang akan dapat merusak nilai-nilai ibadah haji kita.  Sehingga percuma saja kita menyandang gelar haji, percuma kita keluarkan uang puluhan juta rupiah dan waktu serta jiwa raga kita korbankan, kalau ternyata hajinya tidak mabrur (naudzubillahi min dalik).
Selain mereka yang saat ini berada di tanah haram, seluruh umat islam di dunia saat ini juga tengah berkumpul di masjid, di musholla, dan  juga di tanah-tanah lapang untuk mengerjakan sholat hari raya idul adha. Merekapun memuji kebesaran Allah dengan kalimat-kalimat thayyibah, takbir, tahlil, tasbih dan tahmid. Dan sebagai bentuk ketaatan kepada Allah, merekapun menambah amaliyah dengan menyembelih hewan kurban sebagai perwujudan usaha untuk mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Kaum muslimin yang memiliki kemampuan secara materi, mereka menyisihkan sebagian hartanya untuk berkurban dan dagingnya dibagikan kepada masyarakat yang tergolong mustadh’afin (tidak mampu). Sungguh amaliyah kurban ini merupakan penjabaran dari nilai-nilai sebuah ketaatan yang luar biasa. Seolah-olah peristiwa yang pernah terjadi beberapa abad yang silam terulang kembali. Seorang hamba Allah yang bernama Ibrahim a.s. telah begitu taat dan patuh kepada perintah tuhannya, bahkan sekalipun harus mengorbankan putra kesayangannya yaitu Ismail a.s. Maka atas ketaatan beliau inilah Allah menggantinya dengan sembelihan yang agung (bi dzibkhin ‘adziim), yakni dengan seekor domba atau biri-biri yang gemuk. Sepertinya tidak masuk akal,... tetapi itulah pengorbanan ibrahim dan ismail sebagai bentuk kecintaannya kepada Allah swt. Hal ini tentu sesuai dengan tingkat keimanan dan ketakwaannya kepada Allah yang tergolong tingkatan sempurna. Apakah Allah juga memerintahkan kita diminta untuk menyembelih anak kesayangan kita sebagai bentuk ketaatan kita kepada Allah sebagaimana nabi ibrahim ? Tentu tidak. Sesuai dengan tingkat keimanan dan ketakwaan kita, tidak mungkin kita diminta untuk berkurban sebesar pengurbanan ibrahim.
Namun demikian, hendaknya kecintaan dan ketaatan kita kepada Allah, membuat kita mampu mengurbankan kecintaan kita terhadap kesenangan dunia kita. Dan bukan sebaliknya..... Jangan kita justru banyak mengurbakan kecintaan dan ketaatan kita kepada Allah hanya untuk mengejar kesenangan semata. Kita lihat, berapa lama anak-anak, remaja, bahkan orang-orang tua yang sanggup mengorbankan waktu selama berjam-jam untuk main game, browsing, nonton televisi, atau bahkan ngerumpi dengan tetangganya, sementara mereka tidak sanggup mengorbankan waktu selama beberapa menit untuk sholat dan dzikir mengingat kebesaran Allah.
Dalam sehari semalam, berapa kali kita sanggup  memegang dan membuka al-qur’an ? Padahal jika kita bandingkan, dalam sehari itu berapa kali kita pegang hp, berapa kali membuka buku cerita, dan berapa kali waktu kita terbuang sia-sia. Ternyata kecintaan kita terhadap alat-alat kesenangan dunia jauh lebih besar daripada kecintaan kita terhadap al-qur’an yang menjadi petunjuk jalan selamat bagi kita baik di dunia maupun di akhirat.
Dan berapa banyak harta yang telah kita sedekahkan untuk fakir, miskin, anak yatim, pembangunan masjid, dan ibadah-ibadah sosial lainnya ? Sementara berapa banyak uang yang telah kita habiskan untuk membeli perhiasan, pakaian bagus, kendaraan, dan kesenangan-kesenangan lainnya?
Sungguh ironis, ternyata memang keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah belum mampu mengajak kita untuk mengorbankan sedikit saja kesenangan kita. Padahal Allah swt telah menyindir kita dengan firman-Nya dalam surat ali-imron ayat 14 :
زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوٰتِ مِنَ النِّسَآءِ وَالْبَنِيْنَ وَالْقَنَاطِيْرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَاْلأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ, ذٰلِكَ مَتَاعُ الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا, وَاللهُ عِنْدَهٗ حُسْنُ الْمَئَابِ
Dijadikan terasa indah dalam (pandangan) manusia kecintaan terhadap apa-apa yang diinginkan, yaitu : wanita-wanita, anak-anak, harta benda yang bertumpuk dalam bentuk emas dan perak, kuda pilihan (termasuk kendaraan mewah), binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).
Dalam ayat lain, Allah swt juga berfirman :
يــٰٓـاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تُلْهِكُمْ اَمْوَالَكُمْ وَلَآ اَوْلَادُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللهِ, وَمَنْ يَّفْعَلْ ذٰلِكَ فَاُوْلـٰٓــئِكَ هُمُ الْخٰسِرُوْنَ.
Hai orang-orang beriman, janganlah harta-bendamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Dan barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka Itulah orang-orang yang rugi.
Ayat ini secara tegas mengingatkan kita, agar jangan sampai harta benda dan anak-anak kita menjadi penghalang untuk kita ingat kepada Allah. Harta yang dimaksud, tentu seluruh harta benda yang ada dalam penguasaan kita, baik yang berupa kekayaan (seperti tanah, rumah, gedung dan sebagainya), maupun harta benda yang berupa perhiasan, fasilitas dan pekerjaan, apalagi benda-benda yang sifatnya hanya untuk pelengkap semata (seperti kendaraan, hp, televisi dan sebagainya). Maka barang siapa yang tidak sanggup berkurban atas kesemuanya itu, niscaya ia termasuk orang-orang yang rugi.
Imam Ali pernah berkata: "Siapa yang sedih terhadap dunia, maka dia telah marah pada keputusan Allah. Dan siapa yang hatinya bergelora dengan kecintaan padanya, maka hatinya diserang oleh tiga penyakit, yaitu : kesempitan yang tidak akan pernah hilang, ketamakan yang tidak pernah meninggalkan-nya, dan angan-angan yang tidak akan pernah dijangkaunya."
Oleh karena itu, marilah kita maknai pelaksanaan kurban dan hari raya idul adha tahun ini sebagai momentum bagi kita untuk mencanangkan niat yang lurus untuk berhaji memenuhi panggilan Allah, serta memulai  membiasakan diri kita berkurban dan mengurbankan kesenangan dunia untuk menuju keridhoan Allah swt.
اَعُوْاذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ,
بِـسْـــــــمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
اِنـَّـآ اَعْطَيْنَاكَ اْلكَوْثَرَ, فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ, اِنَّشَانِئَكَ هُوَ اْلاَبْتَرَ
بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ, وَتَقَبَّلَ مِنِّى وَمِنْكُمْ تِلَاوَتَهٗ اِنَّهٗ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمِ, أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ, لِيْ وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ. وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ, فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنَّهٗ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.